Senin, 02 Januari 2012

Ringkasan Emisi Rumah Kaca dan hubungannya dengan Protokol Kyoto

 PENGANTAR

          Perubahan iklim kini bukan lagi sebuah wacana. Ketika dampaknya kini semakin dirasakan oleh masyarakat dunia, munculah komitmen negara-negara di dunia untuk mencegah kerusakan yang lebih parah terhadap atmosfer. Beberapa solusinya adalah mereduksi pelepasan gas rumah kaca (GRK) sebagai limbah industri ke atmosfer dan penurunan laju degradasi sumber daya hutan di kawasan tropis. Berbagai kesepakatan internasional dilakukan terkait dengan pelaksanaan solusi tersebut. Untuk mencegah dampak perubahan iklim yang lebih parah, beberapa negara sepakat melakukan penurunan jumlah emisi gas rumah kaca di masing-masing negara. Kesepakatan ini kemudian diwujudkan dalam United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tahun 1992. Tujuan utama dari konvensi ini adalah untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dinitroksida (N2O), sulfur heksafluorida (SF6), hlorofluorocarbon (CFC), hidroflouorokarbon (HFC), dan perfluorokarbon (PFC) pada tingkat yang aman, sehingga tidak membahayakan iklim global. Konvensi ini kemudian membagi negara-negara peserta kedalam kelompok negara Annex I dan kelompok negara non-Annex I. Indonesia termasuk Negara berkembang yang tidak berkewajiban untuk menurunkan emisi namun Indonesia ikut mendukung upaya menyelamatkan iklim dunia dengan salah satu upayanya melalui program Reducing Emissions from Deforestation and Forest degradation (REDD) maupun REDD plus. Program ini telah diujicobakan pada propinsi Kalimantan tengah dan menjadi percontohan bagi propinsi-propinsi lainnya.

Asal Emisi Gas Rumah Kaca
Ø    Pembakaran batu bara, minyak dan  gas bumi melepaskan milyaran ton karbon ke atmosfer setiap tahunnya (yang seharusnya tetap berada jauh di dalam kerak bumi), juga metana dan  nitrous oksida dalam jumlah besar.
Ø     Gas-gas dengan waktu hidup/waktu tinggal yang lama seperti CFC, HFC dan PFC 
      
      Protokol Kyoto
UNFCCC ke-3 (Conference of Parties 3 – COP) diadakan di Kyoto, Jepang, sebuah perangkat peraturan yang bernama Protokol Kyoto diadopsi sebagai pendekatan untuk mengurangi emisi GRK. Kepentingan protokol tersebut adalah mengatur pengurangan emisi GRK dari semua negara-negara yang meratifikasi. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca – karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC .
Hingga Februari 2005, 141 negara telah meratifikasi protokol tersebut, termasuk Kanada, Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia dan 25 negara anggota Uni Eropa, serta Rumania dan Bulgaria.

Target Protokol Kyoto
Target Penurunan emisi yang dinamakan quantified emission limitation and reduction commitments (QELROs) adalah inti dari seluruh urusan Protokol Kyoto. Sebagaimana diuraikan dalam pasal 3, Target Kyoto memiliki beberapa implikasi sebagai berikut :
          Ö Mengikat secara hukum (legally binding)
          Ö Adanya periode komitmen (commitment period)
          Ö Digunakannya riset (sink) untuk mencapai target
          Ö Adanya jatah emisi (assigned amount) setiap pihak annex I
          Ö Dimasukkannya enam jenis GRK (basket of gasses) dan disetarakan dengan CO2

Implikasi Protokol Kyoto bagi Negara berkembang khususnya Indonesia
Negara-negara berkembang tidak memiliki kewajiban menurunkan emisi seperti yang telah ditetapkan untuk Negara-negara maju yang diuraikan dalam Bab 4. Pasal 10 Protokol Kyoto hanya mengatur kewajiban negara berkembang untuk melaporkan emisinya melaui kegiatan inventarisasi dengan metode yang telah ditentukan serta hal yang berkaitan dengan kebijakan nasional dalam mengantisipasi perubahan iklim.
Jika ingin serius memerangi perubahan iklim dan membatasi naiknya suhu global tidak lebih dari 2°C maka Negara-negara berkembang ikut pengurangan emisi melalui deforestasi dan degradasi hutan (REDD).

REDD
REDD memiliki potensi untuk memberikan manfaat selain mengurangi emisi gas rumah kaca yaitu dampak positif terhadap keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan serta pengurangan kemiskinan dan penguatan hak-hak masyarakat adat. Dengan demikian, jika dirancang dengan baik dan benar, REDD dapat menghasilkan tiga keuntungan—dari sisi iklim, keanekaragaman hayati, dan pembangunan berkelanjutan.maka terciptalah mekanisme baru yang dinamakana REDD plus, yang bukan hanya memberikan insentif untuk pengurangan deforestasi dan degradasi hutan, tetapi juga peningkatan penyerapan karbon melalu konservasi, pengelolaan hutan lestari.

1 komentar:

  1. DAFTAR PUSTAKA

    1. Murdiyarso,Daniel.2003.Protokol Kyoto Implikasinya bagi Negara Berkembang.Jakarta: Kompas
    2. http://lexomnibus.wordpress.com/2011/05/21/mekanismecarbontrading/
    3. http://www.infonuklir.com/Jurnal/Fokus/ProtokolKyoto.htm
    4. http://id.wikipedia.org/wiki/Protokol_Kyoto
    5. http://www.freelists.org/archives/list_indonesia/04-2005/msg00931.html

    BalasHapus