Selasa, 03 Januari 2012

Severe Drought, Other Changes Can Cause Permanent Ecosystem Disruption





An eight-year study has concluded that increasingly frequent and severe drought, dropping water tables and dried-up springs have pushed some aquatic desert ecosystems into "catastrophic regime change," from which many species will not recover.
The findings, just published in the journal Freshwater Biology, raise concerns that climate change, over-pumping of aquifers for urban water use, and land management may permanently affect which species can survive.
"Populations that have persisted for hundreds or thousands of years are now dying out," said David Lytle, an associate professor of zoology at Oregon State University. "Springs that used to be permanent are drying up. Streams that used to be perennial are now intermittent. And species that used to rise and fall in their populations are now disappearing."
The research, done by Lytle and doctoral candidate Michael Bogan, examined the effect of complete water loss and its subsequent impact on aquatic insect communities in a formerly perennial desert stream in Arizona's French Joe Canyon, before and after severe droughts in the early 2000s.
The stream completely dried up for a period in 2005, and again in 2008 and 2009, leading to what researchers called a rapid "regime shift" in which some species went locally extinct and others took their place. The ecosystem dynamics are now different and show no sign of returning to their former state. Six species were eliminated when the stream dried up, and 40 others became more abundant. Large-bodied "top predators" like the giant waterbug disappeared and were replaced by smaller "mesopredators" such as aquatic beetles.
"Before 2004, this area was like a beautiful oasis, with lots of vegetation, birds and rare species," Lytle said. "The spring has lost a number of key insect species, has a lot less water, and now has very different characteristics."
The phenomena, the researchers say, does not so much indicate the disappearance of life -- there is about as much abundance as before. It's just not the same.
"Our study focused on a single stream in isolation, but this process of drying and local extinction is happening across the desert Southwest," Bogan said. "Eventually this could lead to the loss of species from the entire region, or the complete extinction of species that rely on these desert oases."
Small streams such as this are of particular interest because they can be more easily observed and studied than larger rivers and streams, and may represent a microcosm of similar effects that are taking place across much of the American West, the researchers said. The speed and suddenness of some changes give species inadequate time to adapt.
"It's like comparing old-growth forests to second-growth forests," Lytle said. "There are still trees, but it's not the same ecosystem it used to be. These desert streams can be a window to help us see forces that are at work all around us, whether it's due to climate change, land management or other factors."
The researchers noted in their report that the last 30 years have been marked by a significant increase in drought severity in the Southwest. The drought that helped dry up French Joe Canyon in 2005 resulted in the lowest flow in Arizona streams in 60 years, and in many cases the lowest on record. At French Joe Canyon, the stream channel was completely dry to bedrock, leaving many aquatic invertebrates dead in the sediments.
That was probably "an unprecedented disturbance," the researchers said in their report. Community composition shifted dramatically, with longer-lived insects dying out and smaller, shorter-lived ones taking their places.
Conceptually similar events have taken place in the past in plant communities in the Florida Everglades, floodplains in Australia, and boreal forests following fire disturbance, other researchers have found. In the Southwest, climate change models predict longer, more frequent and more intense droughts in the coming century, the scientists noted in their study.


Diambil dari 
ScienceDaily (Oct. 13, 2011)  dengan judul Severe Drought, Other Changes Can Cause Permanent Ecosystem Disruption

SIKLUS FOSFOR,NITROGEN,SULFUR DI ALAM


Siklus Fosfor Di Alam
          Di alam, fosfor terdapat dalam dua bentuk, yaitu senyawa fosfat organik (pada tumbuhan dan hewan) dan senyawa fosfat anorganik (pada air dan tanah). Fosfat organik dari hewan dan tumbuhan yang mati diuraikan oleh decomposer (pengurai) menjadi fosfat anorganik. Fosfat anorganik yang terlarut di air tanah atau air laut akan terkikis dan mengendap di sedimen laut. Oleh karena itu, fosfat banyak terdapat di batu karang dan fosil. Fosfat dari batu dan fosil terkikis dan membentuk fosfat anorganik terlarut di air tanah dan laut. Fosfat anorganik ini kemudian akan diserap oleh akar tumbuhan lagi. Siklus ini berulang terus menerus seperti yang terlihat pada gambar 1 .Fosfor di alam dalam bentuk terikat sebagai Ca-fosfat, Fe- atau Al-fosfat, fitat atau protein. Bakeri yang berperan dalam siklus fosfor : Bacillus, Pesudomonas, Aerobacter aerogenes, Xanthomonas, dll. Mikroorganisme (Bacillus, Pseudomonas, Xanthomonas, Aerobacter aerogenes) dapat melarutkan P  menjadi tersedia bagi tanaman.
            Daur fosfor terlihat akibat aliran air pada batu-batuan akan melarutkan bagian permukaan mineral termasuk fosfor akan terbawa sebagai sedimentasi ke dasar laut dan akan dikembalikan ke daratan


Siklus Nitrogen di Alam

           Tahap pertama
            Daur nitrogen adalah transfer nitrogen dari atmosfir ke dalam tanah. Selain air hujan yang membawa sejumlah nitrogen, penambahan nitrogen ke dalam tanah terjadi melalui proses fiksasi nitrogen. Fiksasi nitrogen secara biologis dapat dilakukan oleh bakteri Rhizobium yang bersimbiosis dengan polong-polongan, bakteri Azotobacter dan Clostridium. Selain itu ganggang hijau biru dalam air juga memiliki kemampuan memfiksasi nitrogen.
             Tahap    kedua
               Nitrat yang di hasilkan oleh fiksasi biologis digunakan oleh produsen (tumbuhan) diubah menjadi molekul protein.
Selanjutnya jika tumbuhan atau hewan mati, mahluk pengurai merombaknya menjadi gas amoniak (NH3) dan garam ammonium yang larut dalam air (NH4+). Proses ini disebut dengan amonifikasi. Bakteri Nitrosomonas mengubah amoniak dan senyawa ammonium menjadi nitrat oleh Nitrobacter. Apabila oksigen dalam tanah terbatas, nitrat dengan cepat ditransformasikan menjadi gas nitrogen atau oksida nitrogen oleh proses yang disebut denitrifikasi.

Siklus Sulfur di Alam
          Ketika gas sulfur dioksida yang berada di udara bersenyawa dengan oksigen dan air, akan membentuk asam sulfat yang ketika jatuh ke tanah akan menjadi bentuk ion-ion sulfat (SO42- ). Kemudian ion-ion sulfat tadi akan diserap oleh tumbuhan untuk menyusun protein dalam tubuhnya. Ketika manusia atau hewan memakan tumbuhan, maka akan terjadi perpindahan unsur belerang dari tumbuhan ke tubuh hewan atau manusia. Ketika hewan atau tumbuhan mati, jasadnya akan diuraikan oleh bakteri dan jamur pengurai dan menghasilkan bau busuk, yaitu gas hidrogen sulfida (H2S) yang akan dilepas ke udara dan sebagian tetap ada di dalam tanah. Gas hidrogen sulfida yang ada di udara akan bersenyawa dengan oksigen membentuk sulfur oksida, dan yang di tanah oleh bakteri tanah akan diubah menjadi ion sulfat dan senyawa sulfur oksida yang nanti akan diserap kembali oleh tumbuhan. Sulfur terdapat dalam bentuk sulfat anorganik. Sulfur direduksi oleh bakteri menjadi sulfida dan kadang-kadang terdapat dalam bentuk sulfur dioksida atau hidrogen sulfida. Hidrogen sulfida ini seringkali mematikan mahluk hidup di perairan dan pada umumnya dihasilkan dari penguraian bahan organik yang mati. Tumbuhan menyerap sulfur dalam bentuk sulfat (SO4). Perpindahan sulfat terjadi melalui proses rantai makanan, lalu semua mahluk hidup mati dan akan diuraikan komponen organiknya oleh bakteri.







Daftar Pustaka



Senin, 02 Januari 2012

Ringkasan Emisi Rumah Kaca dan hubungannya dengan Protokol Kyoto

 PENGANTAR

          Perubahan iklim kini bukan lagi sebuah wacana. Ketika dampaknya kini semakin dirasakan oleh masyarakat dunia, munculah komitmen negara-negara di dunia untuk mencegah kerusakan yang lebih parah terhadap atmosfer. Beberapa solusinya adalah mereduksi pelepasan gas rumah kaca (GRK) sebagai limbah industri ke atmosfer dan penurunan laju degradasi sumber daya hutan di kawasan tropis. Berbagai kesepakatan internasional dilakukan terkait dengan pelaksanaan solusi tersebut. Untuk mencegah dampak perubahan iklim yang lebih parah, beberapa negara sepakat melakukan penurunan jumlah emisi gas rumah kaca di masing-masing negara. Kesepakatan ini kemudian diwujudkan dalam United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tahun 1992. Tujuan utama dari konvensi ini adalah untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dinitroksida (N2O), sulfur heksafluorida (SF6), hlorofluorocarbon (CFC), hidroflouorokarbon (HFC), dan perfluorokarbon (PFC) pada tingkat yang aman, sehingga tidak membahayakan iklim global. Konvensi ini kemudian membagi negara-negara peserta kedalam kelompok negara Annex I dan kelompok negara non-Annex I. Indonesia termasuk Negara berkembang yang tidak berkewajiban untuk menurunkan emisi namun Indonesia ikut mendukung upaya menyelamatkan iklim dunia dengan salah satu upayanya melalui program Reducing Emissions from Deforestation and Forest degradation (REDD) maupun REDD plus. Program ini telah diujicobakan pada propinsi Kalimantan tengah dan menjadi percontohan bagi propinsi-propinsi lainnya.

Asal Emisi Gas Rumah Kaca
Ø    Pembakaran batu bara, minyak dan  gas bumi melepaskan milyaran ton karbon ke atmosfer setiap tahunnya (yang seharusnya tetap berada jauh di dalam kerak bumi), juga metana dan  nitrous oksida dalam jumlah besar.
Ø     Gas-gas dengan waktu hidup/waktu tinggal yang lama seperti CFC, HFC dan PFC 
      
      Protokol Kyoto
UNFCCC ke-3 (Conference of Parties 3 – COP) diadakan di Kyoto, Jepang, sebuah perangkat peraturan yang bernama Protokol Kyoto diadopsi sebagai pendekatan untuk mengurangi emisi GRK. Kepentingan protokol tersebut adalah mengatur pengurangan emisi GRK dari semua negara-negara yang meratifikasi. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca – karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC .
Hingga Februari 2005, 141 negara telah meratifikasi protokol tersebut, termasuk Kanada, Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia dan 25 negara anggota Uni Eropa, serta Rumania dan Bulgaria.

Target Protokol Kyoto
Target Penurunan emisi yang dinamakan quantified emission limitation and reduction commitments (QELROs) adalah inti dari seluruh urusan Protokol Kyoto. Sebagaimana diuraikan dalam pasal 3, Target Kyoto memiliki beberapa implikasi sebagai berikut :
          Ö Mengikat secara hukum (legally binding)
          Ö Adanya periode komitmen (commitment period)
          Ö Digunakannya riset (sink) untuk mencapai target
          Ö Adanya jatah emisi (assigned amount) setiap pihak annex I
          Ö Dimasukkannya enam jenis GRK (basket of gasses) dan disetarakan dengan CO2

Implikasi Protokol Kyoto bagi Negara berkembang khususnya Indonesia
Negara-negara berkembang tidak memiliki kewajiban menurunkan emisi seperti yang telah ditetapkan untuk Negara-negara maju yang diuraikan dalam Bab 4. Pasal 10 Protokol Kyoto hanya mengatur kewajiban negara berkembang untuk melaporkan emisinya melaui kegiatan inventarisasi dengan metode yang telah ditentukan serta hal yang berkaitan dengan kebijakan nasional dalam mengantisipasi perubahan iklim.
Jika ingin serius memerangi perubahan iklim dan membatasi naiknya suhu global tidak lebih dari 2°C maka Negara-negara berkembang ikut pengurangan emisi melalui deforestasi dan degradasi hutan (REDD).

REDD
REDD memiliki potensi untuk memberikan manfaat selain mengurangi emisi gas rumah kaca yaitu dampak positif terhadap keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan serta pengurangan kemiskinan dan penguatan hak-hak masyarakat adat. Dengan demikian, jika dirancang dengan baik dan benar, REDD dapat menghasilkan tiga keuntungan—dari sisi iklim, keanekaragaman hayati, dan pembangunan berkelanjutan.maka terciptalah mekanisme baru yang dinamakana REDD plus, yang bukan hanya memberikan insentif untuk pengurangan deforestasi dan degradasi hutan, tetapi juga peningkatan penyerapan karbon melalu konservasi, pengelolaan hutan lestari.

Peran Hutan Terhadap Lingkungan

Peran Hutan Terhadap Lingkungan[1]
            Hutan bukanlah warisan nenek moyang, tetapi pinjaman anak cucu kita yang harus dilestarikan. Jika terjadi bencana, maka dipastikan, biaya ‘recovery’ jauh lebih besar ketimbang melakukan pencegahan secara dini. Begitu pentingnya fungsi hutan sehingga pada 21 Januari 2004 Presiden Megawati merasa perlu mencanangkan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) yaitu gerakan moral yang melibatkan semua komponen masyarakat bangsa untuk memperbaiki kondisi hutan dan lahan kritis. Dengan harapan, agar lahan kritis itu dapat berfungsi optimal, yang juga pada gilirannya bermanfaat bagi masyarakat sendiri. Tujuan melibatkan komponen masyarakat, tentu saja, agar mereka menyadari bahwa hutan dan lingkungan itu sangat penting dijaga kelestariannya.
Hutan memiliki fungsi yang penting bagi kehidupan manusia diantaranya sebagai berikut :
1. Pelestarian Plasma Nutfah
Plasma nutfah merupakan bahan baku yang penting untuk pembangunan di masa depan, terutama di bidang pangan, sandang, papan, obat-obatan dan industri. Penguasaannya merupakan keuntungan komparatif yang besar bagi Indonesia di masa depan. Oleh karena itu, plasma nutfah perlu terus dilestarikan dan dikembangkan bersama untuk mempertahankan keanekaragaman hayati.
2. Penahan dan Penyaring Partikel Padat dari Udara
Udara alami yang bersih sering dikotori oleh debu, baik yang dihasilkan oleh kegiatan alami maupun kegiatan manusia. Dengan adanya hutan, partikel padat yang tersuspensi pada lapisan biosfer bumi akan dapat dibersihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan dan serapan. Partikel yang melayang-layang di permukaan bumi sebagian akan terjerap pada permukaan daun, khususnya daun yang berbulu dan yang mempunyai permukaan yang kasar dan sebagian lagi terserap masuk ke dalam ruang stomata daun. Ada juga partikel yang menempel pada kulit pohon, cabang dan ranting. Dengan demikian hutan menyaring udara menjadi lebih bersih dan sehat.
3. Penyerap Partikel Timbal dan Debu Semen
Kendaraan bermotor merupakan sumber utama timbal yang mencemari udara di daerah perkotaan. Diperkirakan sekitar 60-70 % dari partikel timbal di udara perkotaan berasal dari kendaraan bermotor. Hutan dengan kanekaragaman tumbuhan yang terkandung di dalamnya mempunyai kemampuan menurunkan kandungan timbal dari udara.
Debu semen merupakan debu yang sangat berbahaya bagi kesehatan, karena dapat mengakibatkan penyakit sementosis. Oleh karena itu debu semen yang terdapat di udara bebas harus diturunkan kadarnya.
4. Peredam Kebisingan
Pohon dapat meredam suara dan menyerap kebisingan sampai 95% dengan cara mengabsorpsi gelombang suara oleh daun, cabang dan ranting. Jenis tumbuhan yang paling efektif untuk meredam suara ialah yang mempunyai tajuk yang tebal dengan daun yang rindang. Berbagai jenis tanaman dengan berbagai strata yang cukup rapat dan tinggi akan dapat mengurangi kebisingan, khususnya dari kebisingan yang sumbernya berasal dari bawah.
5. Mengurangi Bahaya Hujan Asam
Pohon dapat membantu dalam mengatasi dampak negatif hujan asam melalui proses fisiologis tanaman yang disebut proses gutasi. Proses gutasi akan memberikan beberapa unsur diantaranya ialah : Ca, Na, Mg, K dan bahan organik seperti glumatin dan gula. Bahan an-organik yang diturunkan ke lantai hutan dari tajuk melalui proses through fall dengan urutan K>Ca> Mg>Na baik untuk tajuk dari tegakan daun lebar maupun dari daun jarum. Hujan yang mengandung H2SO4 atau HNO3 apabila tiba di permukaan daun akan mengalami reaksi. Pada saat permukaan daun mulai dibasahi, maka asam seperti H2SO4 akan bereaksi dengan Ca yang terdapat pada daun membentuk garam CaSO4 yang bersifat netral. Dengan demikian adanya proses intersepsi dan gutasi oleh permukaan daun akan sangat membantu dalam menaikkan pH, sehingga air hujan menjadi tidak begitu berbahaya lagi bagi lingkungan. pH air hujan yang telah melewati tajuk pohon lebih tinggi, jika dibandingkan dengan pH air hujan yang tidak melewati tajuk pohon.
6. Penyerap Karbon-monoksida
Mikro organisme serta tanah pada lantai hutan mempunyai peranan yang baik dalam menyerap gas. Tanah dengan mikroorganismenya dapat menyerap gas ini dari udara yang semula konsentrasinya sebesar 120 ppm (13,8 x 104 ug/m3) menjadi hampir mendekati nol hanya dalam waktu 3 jam saja.
7. Penyerap Karbon-dioksida dan Penghasil Oksigen
Hutan merupakan penyerap gas CO2 yang cukup penting, selain dari fitoplankton, ganggang dan rumput laut di samudera. Cahaya matahari akan dimanfaatkan oleh semua tumbuhan baik di hutan kota, hutan alami, tanaman pertanian dan lainnya dalam proses fotosintesis yang berfungsi untuk mengubah gas CO2 dan air menjadi karbohidrat dan oksigen. Dengan demikian proses ini sangat bermanfaat bagi manusia, karena dapat menyerap gas yang bila konsentrasinya meningkat akan beracun bagi manusia dan hewan serta akan mengakibatkan efek rumah kaca. Di lain pihak proses ini menghasilkan gas oksigen yang sangat diperlukan oleh manusia dan hewan.
8. Penahan Angin
Angin kencang dapat dikurangi 75-80% oleh suatu penahan angin yang berupa hutan kota.
9. Penyerap dan Penapis Bau
Daerah yang merupakan tempat penimbunan sampah sementara atau permanen mempunyai bau yang tidak sedap. Tanaman dapat menyerap bau secara langsung, atau tanaman akan menahan gerakan angin yang bergerak dari sumber bau. 
10. Mengatasi Penggenangan
Daerah bawah yang sering digenangi air perlu ditanami dengan jenis tanaman yang mempunyai kemampuan evapotranspirasi yang tinggi. Jenis tanaman yang memenuhi kriteria ini adalah tanaman yang mempunyai jumlah daun yang banyak, sehingga mempunyai stomata yang banyak pula.
11. Mengatasi Intrusi Air Laut dan Abrasi
Kota-kota yang terletak di tepi pantai seperti DKI Jakarta pada beberapa tahun terakhir ini dihantui oleh intrusi air laut. Pemilihan jenis tanaman dalam pembangunan hutan kota pada kota yang mempunyai masalah intrusi air laut harus betul-betul diperhatikan. Upaya untuk mengatasi masalah ini yakni membangun hutan lindung kota pada daerah resapan air dengan tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi yang rendah.
Hutan berupa formasi hutan mangrove dapat bekerja meredam gempuran ombak dan dapat membantu proses pengendapan lumpur di pantai. Dengan demikian hutan selain dapat mengurangi bahaya abrasi pantai, juga dapat berperan dalam proses pembentukan daratan.
12. Produksi Terbatas
Hutan memiliki fungsi in-tangible juga tangible. Sebagai contoh, pohon mahoni di hutan kota Sukabumi sebanyak 490 pohon telah dilelang dengan harga Rp. 74 juta. Penanaman dengan tanaman yang menghasilkan biji atau buah yang dapat dipergunakan untuk berbagai macam keperluan warga masyarakat dapat meningkatkan taraf gizi dan penghasilan masyarakat.
13. Ameliorasi Iklim
Salah satu masalah penting yang cukup merisaukan penduduk perkotaan adalah berkurangnya rasa kenyamanan sebagai akibat meningkatnya suhu udara di perkotaan. Hutan kota dapat dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan agar pada saat siang hari tidak terlalu panas, sebagai akibat banyaknya jalan aspal, gedung bertingkat, jembatan layang, papan reklame, menara, antene pemancar radio, televisi dan lain-lain. sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pepohonan dapat menahan radiasi balik (reradiasi) dari bumi.
14. Pelestarian Air Tanah
Sistem perakaran tanaman dan serasah yang berubah menjadi humus akan memperbesar jumlah pori tanah. Karena humus bersifat lebih higroskopis dengan kemampuan menyerap air yang besar maka kadar air tanah hutan akan meningkat.
Jika hujan lebat terjadi, maka air hujan akan turun masuk meresap ke lapisan tanah yang lebih dalam menjadi air infiltrasi dan air tanah dan hanya sedikit yang menjadi air limpasan. Dengan demikian pelestarian hutan pada daerah resapan air dari kota yang bersangkutan akan dapat membantu mengatasi masalah air dengan kualitas yang baik.
15. Penapis Cahaya Silau
Manusia sering dikelilingi oleh benda-benda yang dapat memantulkan cahaya seperti kaca, aluminium, baja, beton dan air. Apabila permukaan yang halus dari benda-benda tersebut memantulkan cahaya akan terasa sangat menyilaukan dari arah depan, akan mengurangi daya pandang pengendara. Keefektifan pohon dalam meredam dan melunakkan cahaya tersebut bergantung pada ukuran dan kerapatannya.
16. Mengurangi Stress, Meningkatkan Pariwisata dan Pencinta Alam
Kehidupan masyarakat di lingkungan hidup kota mempunyai kemungkinan yang sangat tinggi untuk tercemar, baik oleh kendaraan bermotor maupun industri. Petugas lalu lintas sering bertindak galak serta pengemudi dan pemakai jalan lainnya sering mempunyai temperamen yang tinggi diakibatkan oleh cemaran timbal dan karbon-monoksida. Oleh sebab itu gejala stress (tekanan psikologis) dan tindakan ugal-ugalan sangat mudah ditemukan pada anggota masyarakat yang tinggal dan berusaha di kota atau mereka yang hanya bekerja untuk memenuhi keperluannya saja di kota. Hutan kota juga dapat mengurangi kekakuan dan monotonitas.